Jurnalsecurity.com | Jakarta–Rencana Bank Indonesia (BI) untuk memperkenalkan Payment ID pada momentum 17 Agustus 2025 ternyata belum bisa terealisasi. Padahal, sistem berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) ini disebut-sebut sebagai gebrakan besar dalam dunia keuangan digital Indonesia.
Payment ID dirancang sebagai satu pintu pencatatan seluruh aktivitas transaksi keuangan perorangan. Dengan begitu, setiap transaksi dapat terintegrasi secara lebih rapi dan transparan. Meski belum diluncurkan, wacana ini sudah memicu banyak perbincangan publik.
Salah satu tanggapan datang dari Aziz Fajar, SKom MKom, dosen Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM) Universitas Airlangga (Unair). Menurutnya, konsep Payment ID berpotensi menjadi alat penting bagi lembaga keuangan dalam mengantisipasi penipuan dan tindak kecurangan.
Menurutnya, konsep Payment ID dapat membantu lembaga keuangan dalam mendeteksi potensi fraud. Ia menambahkan, dengan sistem terintegrasi tersebut, pemerintah tidak perlu lagi membuka data keuangan tahunan secara manual, karena cukup melalui satu pintu.
Dengan berbagai manfaat yang ditawarkan, publik kini menanti langkah lanjutan BI untuk merealisasikan Payment ID. Jika berhasil diterapkan, sistem ini diyakini bisa menjadi pondasi baru dalam transformasi keuangan digital nasional.
“Misalnya transaksinya hariannya mungkin hanya 100 ribu, 50 ribu. Tiba-tiba suatu saat terdapat transaksi 500 juta. Nah, dengan adanya Payment ID bisa dengan mudah mengetahui siapa yang mengirim dan yang menerima,” ujar Aziz, di Surabaya, Selasa (26/8/2025).
Namun, Aziz mengingatkan adanya tantangan besar dalam implementasi sistem ini, yakni keamanan data pengguna. Ia menekankan bahwa kasus kebocoran data KTP yang pernah terjadi di Indonesia menjadi pelajaran penting. Tanpa perlindungan cyber yang kuat, Payment ID justru berpotensi menimbulkan masalah baru.
“Sebenarnya kalau data kita bisa bocor, nanti orang yang tidak berkepentingan dan berwenang bisa melihat bagaimana pola pengeluaran kita. Data tersebut bisa dijual lagi ke perusahaan swasta, misalnya ke perusahaan pinjol,” jelas Aziz.
Aziz menegaskan bahwa implementasi Payment ID akan sangat bergantung pada kualitas keamanan sistem yang ada. Jika sistem berjalan baik, pemerintah bisa lebih mudah menggagalkan transaksi yang terindikasi judi online dan aktivitas ilegal lainnya. Namun, ia juga mengingatkan adanya risiko besar bila cybersecurity tidak memadai.
“Kalau keamanannya lemah, masyarakat bisa enggan bertransaksi digital dan kembali ke cara-cara offline yang akan menyulitkan dan memperlambat roda ekonomi digital yang selama ini telah berkembang di Indonesia,” jelas Aziz
Aziz menilai, sebelum mengimplementasikan Payment ID, pemerintah perlu terlebih dahulu memperkuat infrastruktur cybersecurity. Tanpa itu, kehadiran Payment ID berpotensi menimbulkan kerugian lebih besar.
Selain aspek teknis, literasi digital masyarakat juga menjadi kunci. Aziz menilai, edukasi tentang keamanan transaksi digital perlu diberikan sejak remaja, khususnya di tingkat SMA hingga perguruan tinggi, ketika mereka mulai terbiasa mengelola uang sendiri. Selain menyasar kalangan remaja dan mahasiswa, literasi digital juga penting diberikan kepada orang tua.
“Banyak orang tua merasa tidak akan bersentuhan dengan dunia digital, padahal kini dalam kehidupan sehari-hari hampir semua aktivitas pasti memiliki persinggungan dengan perangkat digital,” pungkas Aziz.[]