JURNAL SECURITY | Jakarta–“Saya teringat empat tahun tinggal di Singapura, saya memilih tinggal di East Coast dan West Coast. Seringkali saat akhir pekan berada di pantai dan penuh dengan kapal-kapal dan sangat sibuk pagi hingga malam, sehingga menjadi pemandangan yang menarik,” ujar Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan dan Humaniora (OR IPSH), Ahmad Najib Burhani. Najib menyampaikan hal tersebut bukan tanpa alasan, dalam sambutannya Najib menjelaskan Indonesia masih mengalami tantangan dalam konektivitas dan memiliki infrastruktur pelabuhan yang belum memadai.
Menurutnya, Indonesia juga mengalami permasalahan eksploitasi sumber daya laut dan penangkapan ikan secara ilegal. Sambutan tersebut dibawakannya saat kegiatan Diskusi dan Bedah Buku oleh BRIN tentang ASEAN Maritime Security: The Global Maritime Fulcrum in the Indo-Pacific yang dilaksanakan di Kantor Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo Gatot Soebroto Jakarta, Rabu (07/06). Acara ini difasilitasi oleh Direktorat Repositori, Multimedia, dan Penerbitan Ilmiah (RMPI), Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi (DFRI).
Menanggapi situasi ini, pemerintah Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menempatkan pengamanan batas laut dan membangun konektivitasnya sebagai prioritas utama. Hal tersebut dengan mengangkat visi Poros Maritim Global (Global Maritime Fulcrum/GMF). GMF memiliki dua dimensi, yakni strategis dan ekonomi. Dimensi strategis memandang TNI AL sebagai kekuatan maritim regional. Sementara dimensi ekonomi, pemerintahan Jokowi menginginkan Indonesia yang lebih saling terhubung, di antaranya dengan mengembangkan pelabuhan, perikanan, dan pelayaran.
“Hal tersebut diharapkan mengurangi kesenjangan pembangunan antara pulau utama dan pulau terluar, serta dapat lebih mengintegrasikan pulau-pulau Indonesia dengan jalur perdagangan maritim global, dengan mengembangkan pelabuhan dan pembangunan tol laut,” imbuh Najib.
Indonesia masih memiliki tantangan domestik dan internal dalam mewujudkan visinya sebagai kekuatan maritim. Indonesia perlu berperan dalam kepemimpinan ASEAN dan bekerja sama dengan mitra untuk memastikan bahwa kawasan ini dapat tetap damai. “Untuk tujuan ini, Indonesia harus mempertimbangkan menyusun kebijakan bersama dengan tetangga terdekatnya untuk mendorong kebijakan bersama ASEAN mengenai isu-isu penting yang strategis,” ujarnya.
Visi poros maritim global perlu direvitalisasi dengan lebih terlihat sebagai upaya untuk meningkatkan pengaruh Indonesia di tingkat regional dan global. Najib menutup sambutannya dengan membeberkan kegiatan OR IPSH, khususnya mengenai buku dan terbitan ilmiah yang bekerja sama dengan DFRI tersebut.
Sementara Deputi DFRI, Agus Haryono, dalam rangkaian pembukaan menyatakan, bedah buku pada kenyataannya sangat bermanfaat karena tingkat pengunduhan semakin meningkat. Hasil yang membanggakan, karena penelitian dan pengkajian ternyata bermanfaat besar bagi masyarakat. “Sumber daya maritim tak terhingga, sumber daya selain perikanan seperti mineral dan potensi perdagangan yang semakin besar nilainya. Lokasi perairan kita sangat strategis di antara dua samudera. Topik ini merupakan pengumpulan informasi sejauh mana presiden menjalankan visinya dalam mengembangkan poros maritim global,” urainya.
Agus menceritakan tentang rencana pimpinan dalam pembentukan Pusat Kolaborasi Riset Internasional, agar bisa difasilitasi pendanaan. Baginya, DFRI dapat mengajak kolaborasi dengan eksternal BRIN dalam negeri hingga dunia internasional. Agus berharap agar BRIN mempunyai pegangan dalam pencarian lembaga pendanaan, yakni harus dipetakan kebutuhan periset.
Poros maritim menjadi suatu hal yang menguatkan kolaborasi dalam hal maritim, apabila di ASEAN poros maritimnya aman dan stabil. Maka ekonominya yang meliputi ASEAN dan sekitarnya akan lebih stabil hingga mennyejahterakan masyarakat. “Momen keketuaan Indonesia di ASEAN merupakan momen yang sangat tepat apabila bisa mengajak mitra-mitra membahas dan mengedepankan keamanan maritim di lingkup ASEAN ini. Seperti yang diutarakan presiden, pentingnya ASEAN bagi Indonesia dan pentingnya Indonesia bagi ASEAN,” tutupnya.
Alexandra Westcott Campbell menyampaikan paparannya dengan judul Book Publishing with Springer and BRIN Publishing. Alex menjelaskan mengenai profil Springer yang merupakan salah satu penerbit buku akademik terbesar di internasional, di mana Springer telah menerbitkan 13.000 buku baru tiap tahun. Springer juga merupakan perintis penerbitan buku secara digital di mana terdapat 285 juta pemirsa yang membaca buku-bukunya.
“Springer telah menjalin kerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI (sekarang BRIN) sejak lama. Selain itu, kami juga menjalin kerja sama dengan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI),” terangnya. Springer dengan BRIN telah mengadakan forum diskusi buku-buku terbitan mereka. Alex mewakili Springer sangat senang dan mengapresiasi buku tersebut. Ia lalu menjelaskan langkah-langkah agar buku para peneliti BRIN dapat diterbitkan Springer dan RMPI.
Acara bedah buku dimoderatori oleh Peneliti Ahli Utama BRIN, Humphry Wangke. Humphry menjelaskan kepentingan politik dan ekonomi negara-negara di poros maritim. Hal ini sangat menarik karena dibahas dalam buku ini. “Topik kemaritiman menjadi menarik lagi pada tahun ini karena Indonesia menjadi keketuaan di ASEAN dan tidak mudah dijalankan karena negara ASEAN berada di poros maritim,” ucapnya. Humphry kemudian memperkenalkan para pembicara yaitu para peneliti Pusat Riset Politik BRIN, Tri Nuke Pudjiastuti dan Faudzan Farhana. Diperkenalkan juga para penanggap yaitu Aleksius Jemadu dari Universitas Pelita Harapan dan Laksamana Muda Antongan Simatupang selaku Staf Ahli Bidang Kedaulatan Wilayah dan Kemaritiman di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam).
Faudzan Farhana, peneliti BRIN selaku salah satu penulis dan co-editor buku mengatakan bahwa buku ini merupakan satu dari tiga rangkaian naskah buku bertemakan “Keamanan Maritim ASEAN”. Ketiga naskah ini disusun berdasarkan hasil penelitian tim ASEAN pada periode tahun 2016 hingga 2018 yang pada waktu itu mengusung topik besar “Keamanan Maritim ASEAN dalam Perspektif Indonesia”.
Buku yang dibahas itu sendiri terdiri dari beberapa bab. Bab pertama membahas pembangunan maritim di Indonesia. Bab kedua menceritakan diskursus keamanan maritim dan visi maritim bisa dibenturkan dengan diskursus ini. Ini meletakkan visi GMF dalam Kerangka Keamanan ASEAN dan menekankan signifikansi visi ini dalam pembentukan agenda-agenda maritim ASEAN.
Bab ketiga berkaitan secara lebih khusus melihat agenda dan kerja sama maritim ASEAN di bawah Pilar Politik Keamanan ASEAN. Hal itu mengelaborasi berbagai mekanisme kerja sama ASEAN lengkap dengan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam memastikan stabilitas keamanan dan perdamaian di Indo-Pasifik.
Dilanjutkan bab keempat “Politik-Ekonomi Indonesia: Maritim Pembangunan Perikanan dan Perdagangan” yang membahas Secara khusus menyingkap potensi maritim dalam pengelolaan pemerintah di mana dapat mengundang pengikutsertaan pihak swasta, baik sebagai pengelola sumber daya maupun sebagai investor terutama di sektor perikanan dan perdagangan. Bab ini juga mengulas kepentingan ekonomi politik Indonesia di dalam kerangka Keamanan Maritim di ASEAN.
Bab kelima membahas isu-isu strategis di dalam kerangka kerja sama keamanan maritim di ASEAN yang hingga saat ini pun masih relevan dengan isu-isu yang sedang dibahas dalam Keketuaan Indonesia di ASEAN. Bab keenam mengulas perkembangan diplomasi dan kepentingan maritim Indonesia serta membenturkannya dengan perkembangan konsep diplomasi maritim dalam hubungan internasional. Bab ini menunjukkan adanya persoalan di tataran nasional akibat terlalu banyaknya pihak yang ikut serta dan terlibat tanpa ada kesatuan tujuan diplomasi yang tegas untuk diraih.
Bab ketujuh memotret dinamika interaksi dan kerja sama antar kekuatan di kawasan Indo-Pasifik dan pentingnya soliditas ASEAN dalam memastikan sentralitas ASEAN di dalamnya. Bab ini juga mengulas kepentingan keamanan maritim berbagai negara mitra eksternal ASEAN dan bagaimana Indonesia dapat menggunakan visi GMF untuk mendukung ASEAN mengelola interaksi dan kerja sama antar kekuatan ini.
Bab terakhir menganalisis keterkaitan antara visi GMF Indonesia dengan agenda keamanan maritim ASEAN. Bab ini juga menunjukkan posisi inisiatif Maritime Silk Road Tiongkok yang berpotensi “menunggangi” visi GMF. Hal ini dalam upaya perwujudannya dan bagaimana Indonesia seharusnya dapat mengelola situasi ini untuk meraih kepentingan maritimnya di Indo-Pasifik.
Faudzan berharap pembahasan buku ini dapat berkontribusi pada eksplorasi kerja sama yang dapat dilakukan dalam kerangka Indo-Pasifik khususnya di bidang keamanan maritim. Selesai paparan oleh narasumber, dilanjutkan dengan diskusi bersama penanggap. Acara ditutup dengan tanya jawab bersama para peserta yang telah registrasi. (SGD). [fa]