JS| Jakarta–Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menawarkan penggunaan alat deteksi tsunami bernama Laser Tsunami Sensor (LTS). Alat ini digadang-gadang lebih efektif dan awet ketimbang pelampung (buoy).
Model sensor tsunami yang kini tengah dikembangkan LIPI diklaim relatif tahan gangguan karena diletakkan dalam kabel optik di dasar laut dan tidak berbahan korosif. Berbeda dengan pelampung yang dapat tertabrak kapal atau rusak karena ombak.
LTS sebenarnya diciptakan sejak 2005 oleh peneliti bidang instrumentasi kebencanaan Pusat Penelitian Fisika LIPI, Bambang Widiyatmoko. Bahannya berjenis fiber brag grating (FBG) dan bekerja dengam metode penyampaian informasi melalui cahaya.
“Prinsip kerjanya adalah mengirim cahaya dari darat kemudian ditembakkan ke dasar laut, lalu ada sensor di dalamnya yang akan kembali menembakkan cahaya ke pos pantau,” ujar Bambang yang juga seorang pakar laser dalam lansiran CNNIndonesia.com, Rabu (2/1/2019).
Isi informasi tersebut adalah tenaga gelombang yang dijabarkan lagi menjadi potensi tinggi ombak menuju pantai. Singkat kata, sensor ini akan membaca pergerakan air laut yang tidak biasa atau tekanan air yang berubah lalu mengirim peringatan bahaya tsunami ke pos pantau.
LTS yang saat ini tengah dalam proses penelitian lebih lanjut itu telah mampu melampaui uji coba tekanan 50 bar di laboratorium. Artinya sensor itu mampu menerima tekanan setara kedalaman 500 meter di bawah permukaan laut.
Lalu, untuk melindungi sensornya, digunakan bahan polimer etilena fluorin atau bahan yang sama dengan pelapis panci teflon. “Karena teflon tidak korosif kalau kena garam,” jelas Bambang dikutip Katadata, Rabu (2/1).
Saat ini LTS belum diproduksi, tapi Bambang mengaku siap jika pemerintah memintanya untuk membuat purwarupa.
Dia yakin fiber bragg grating ini lebih cocok dengan kondisi Indonesia ketimbang sensor pelampung. Selain itu, biaya perawatan sensor pelampung terbilang cukup mahal, yakni mencapai US $125 ribu atau sekitar Rp1.8 miliar per unit setiap tahunnya.
“Kalau fiber, tidak perlu (pelindung) bahan logam, aman dari gangguan elektromagnetik, dan biaya perawatan rendah, sekitar Rp 30 juta-an,” lanjutnya.
Hanya saja, pemasangan awalnya akan banyak menelan biaya. Menurut estimasi, harga kabel fiber optik bawah laut mencapai US $5 per meter. Berarti, kira-kira untuk panjang 20 kilometer, pemerintah harus merogoh bujet hingga Rp1,5 miliar.
Namun, hal ini bisa diminimalisasi dengan kelebihan Indonesia yang memiliki banyak pulau. “Biaya bisa diminimalisir dengan memasang kabel serat optik dari pulau terluar jadi tidak terlalu panjang,” sebutnya.
Alat ini pun sebenarnya memiliki dua tipe, selain FBG ada juga interferometer fabry-perot. Tipe ini pernah dikembangkan Bambang bersama para ilmuwan Jepang.
Namun, jenis interferometer fabry-perot terbilang lebih rumit dan butuh bujet yang lebih besar. Adapun penelitian ini dipicu oleh permintaan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
“Presiden sudah meminta revitalisasi sistem peringatan dini tsunami, namun kita harus melihat ada daerah-daerah seperti Lombok yang jarak dari sumber tsunami ke daratannya pendek sehingga waktu untuk menyelamatkan diri pun menjadi lebih pendek,” kata Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Eko Yulianto, dilaporkan Indopos, Senin (31/12/2018).
Sementara, menurutnya harus ada garis batas sejauh 300 meter dari bibir pantai untuk perlindungan ketika ada ancaman gelombang tinggi.
Selain LIPI, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga telah merintis alat peringatan dini akibat longsoran lereng Gunung Anak Krakatau. Alat itu bernama Indonesia Seismic Information System (InaSEIS).
Alat ini beroperasi di Selat Sunda dan berbasis pada pemantauan intensitas gempa skala lokal. InaSEIS dibuat secara manual oleh BMKG, sebab di dunia belum ada sistem peringatan dini tsunami akibat longsoran lereng vulkanik.
Sayangnya, BMKG belum merinci bagaimana pembuatan serta cara kerja alat deteksi tersebut. [fr]