Jurnalsecurity.com | Jakarta–Platform media sosial X, yang dimiliki oleh Elon Musk, menyatakan bahwa Undang-Undang Keamanan Online Inggris (Online Safety Act) berisiko mengancam kebebasan berekspresi karena penerapannya yang dianggap terlalu keras dan luas. Dalam pernyataan yang dirilis Jumat 1 Agustus, X menyerukan adanya perubahan signifikan terhadap undang-undang tersebut agar tidak menimbulkan efek samping berupa sensor berlebihan.
Online Safety Act yang mulai diterapkan tahun ini mewajibkan platform besar seperti Facebook, YouTube, TikTok, dan X — serta situs-situs penyedia konten pornografi — untuk melindungi anak-anak dan menghapus konten ilegal. Namun, aturan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk politisi, aktivis kebebasan berekspresi, serta para pembuat konten.
Keluhan paling banyak datang dari pengguna yang harus melalui proses verifikasi usia dengan mengunggah data pribadi untuk mengakses situs pornografi. Lebih dari 468.000 orang telah menandatangani petisi daring yang menyerukan pencabutan undang-undang tersebut. Namun, pemerintah Inggris menyatakan tidak akan mencabut aturan tersebut dan tengah bekerja sama dengan regulator Ofcom untuk mempercepat penerapannya.
Menteri Teknologi Inggris, Peter Kyle, bahkan menyebut bahwa pihak yang menolak undang-undang ini “berpihak pada para pelaku predator online”.
Dalam pernyataannya, X menyebut bahwa niat baik dari undang-undang ini telah dibayangi oleh cakupan regulasinya yang terlalu luas. “Ketika para pembuat undang-undang menyetujui aturan ini, mereka secara sadar memilih untuk meningkatkan penyensoran atas nama ‘keamanan daring’,” tulis pernyataan tersebut. “Layak untuk dipertanyakan apakah warga Inggris sepenuhnya menyadari kompromi yang mereka lakukan.”
X juga menyoroti jadwal implementasi yang dianggap terlalu ketat. Meskipun telah mematuhi aturan verifikasi usia, X mengatakan masih menghadapi ancaman penegakan hukum dan denda, yang mendorong platform untuk melakukan sensor berlebihan guna menghindari penalti.
Menurut X, satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan perlindungan anak, kebebasan, dan inovasi secara bersamaan adalah dengan pendekatan yang seimbang. “Sudah jelas bahwa perubahan signifikan harus dilakukan agar tujuan-tujuan ini dapat tercapai di Inggris,” tulisnya.
Menanggapi kritik tersebut, juru bicara pemerintah Inggris menyatakan bahwa tudingan tersebut “secara nyata salah”. “Selain kewajiban hukum untuk melindungi anak-anak, undang-undang ini juga memuat kewajiban yang jelas dan tegas kepada platform untuk melindungi kebebasan berekspresi,” ujarnya.
Sementara itu, Ofcom, otoritas regulator komunikasi di Inggris, pada Kamis lalu mengumumkan bahwa mereka telah memulai investigasi terhadap empat perusahaan yang mengelola total 34 situs pornografi untuk mengevaluasi kepatuhan mereka terhadap undang-undang baru tersebut.
Kontroversi seputar Online Safety Act diperkirakan akan terus memanas di tengah ketegangan antara perlindungan anak, hak privasi, dan kebebasan berbicara di ranah digital.[]