JURNALSECURITY | Tulisan ini membahas mengenai permasalahan hukum yang dihadapi oleh BUJP Penyediaan Tenaga Pengamanan selaku Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja (PPJT) terkait dengan pemutusan perjanjian secara sepihak oleh Perusahaan Pemberi Pekerjaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa satuan pengamanan (Satpam) saat ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam setiap kegiatan usaha maupun kegiatan/acara pastilah terdapat Satpam yang ditugaskan untuk melakukan tugas menjaga keamanan.
Dalam melakukan tugasnya tersebut, Satpam mempunyai kewenangan kepolisian terbatas di lingkungan mana yang bersangkutan bertugas, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Satpam adalah termasuk pengamanan swakarsa yang diatur dalam Peraturan Kapolri No. 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan dan/atau Instansi/Lembaga Pemerintah dan untuk menjalankan usaha sebagai Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) harus terlebih dahulu memperoleh Surat Ijin Operasional dari Kapolri.
Dalam praktiknya saat ini terdapat dua macam pola hubungan kerja anggota Satpam yaitu bekerja secara langsung kepada perusahaan yang membutuhkan jasa Satpam (in house security) dan Satpam yang bekerja pada BUJP Penyediaan Tenaga Pengamanan yang kemudian dialihdayakan (outsourcing) dan ditugaskan pada perusahaan yang membutuhkan jasa Satpam (Perusahaan Pemberi Pekerjaan) atas dasar perjanjian penyediaan tenaga kerja yang dibuat antara Perusahaan Pemberi Pekerjaan dengan Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja (PPJT).
Jasa penyediaan tenaga pengamanan adalah termasuk salah satu bidang usaha jasa penunjang yang diperbolehkan untuk dilakukan alih daya/outsourcing sebagaimana ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) Jo. Pasal 17 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
Menjadi menarik, ketika dicermati pembina teknis Satpam, sebagai unsur penertib dan pengamanan di lingkungan kerjanya adalah Kepolisian Republik Indonesia, sedangkan pembinaan dan perlindungan Satpam sebagai pekerja menjadi tanggung jawab dari Kementerian Tenaga Kerja (Surat Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No Kep. 275/Men/1989 Dan No Pol Kep/04/V/1989 tanggal 22 Mei 1989 tentang Pengaturan Jam Kerja, Shift dan Jam Istirahat Serta Pembinaan Tenaga Kerja Satuan Pengamanan).
Dalam kondisi saat ini, terkait pandemi Covid-19, Perusahaan PPJT mengalami dampak langsung akibat banyaknya pemutusan perjanjian secara sepihak oleh Perusahaan Pemberi Pekerjaan. Hal mana memberikan dampak secara langsung terhadap Satpam yang bekerja pada PPJT yang berbentuk Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) Penyediaan Tenaga Pengamanan.
Dari data yang disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Badan Usaha Jasa Pengamanan Indonesia (ABUJAPI) Agoes Dermawan dalam keterangan tertulisnya pada tanggal 5 April 2020 yang lalu pada intinya penyebaran Covid-19 sangat berdampak termasuk pada dunia industrial security yang mana hingga tanggal keterangan tertulisnya tersebut disebutkan bahwa telah terdapat PHK terhadap sebanyak 1.315 Satpam di berbagai wilayah Indonesia.
Demikian pula dari keterangan Kasudin Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Selatan diketahui bahwa di wilayah Jakarta Selatan tercatat sebanyak 5.410 pekerja yang di PHK dan sebanyak 25.112 pekerja yang dirumahkan terkait pandemi Covid-19, yang mana mayoritas dari pekerja tersebut adalah pegawai ritel dan Satpam.
Terkait dengan Pandemi Covid-19, hingga tulisan ini dibuat hanya terdapat satu Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Menaker yaitu SE No. M/3/HK.04/III/2020 tanggal 17 Maret 2020, Perihal: Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19, yang ditujukan kepada seluruh Gubernur di Indonesia.
Salah satu poin SE tersebut adalah bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan Covid-19, sehingga menyebabkan seluruh atau sebagian pekerjanya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha, maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara perusahaan dengan pekerja. Hal mana mengindikasikan bahwa Covid-19 sangat berdampak kepada semua bidang usaha, sehingga Menaker memberikan arahan kepada para Gubernur tersebut.
Tulisan ini akan mencoba membahas mengenai permasalahan hukum yang dihadapi oleh BUJP Penyediaan Tenaga Pengamanan selaku PPJT terkait dengan pemutusan perjanjian secara sepihak oleh Perusahaan Pemberi Pekerjaan. Namun demikian guna memperjelas duduk masalah maka perlu pula dibahas mengenai Satpam yang bekerja secara inhouse guna mempertegas bahwa terdapat perbedaan permasalahan yang ada antara Satpam inhouse dan Satpam outsourcing.
Perjanjian kerja antara Satpam inhouse dengan pengusaha/majikannya dapat berupa: a) perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau merupakan karyawan tetap dan b) perjanjian kerja waktu tertentu/’karyawan kontrak’ (PKWT). Dalam konteks PKWTT dalam hal terdapat pemutusan hubungan kerja oleh majikan, maka pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut harus dilakukan sesuai ketentuan peraturan ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan sebetulnya tidaklah mudah untuk melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja atas inisiatif dari majikan, di mana apabila melalui perundingan tidak juga tercapai kata sepakat, maka untuk melakukan pemutusan hubungan kerja tersebut baru dapat dilakukan apabila telah diperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Dalam praktiknya terdapat ‘penyimpangan’ dalam melakukan PHK oleh majikan, yang dicapai dengan kesepakatan yang baik antara kedua belah pihak melalui mekanisme pemberian kompensansi dan hak-hak kepada pekerja sesuai kesepakatan bersama yang disertai dengan pembuatan surat pengunduran diri oleh pekerja. Selain itu dalam kondisi keadaan krisis atau sangat terpaksa sebelum majikan melakukan PHK, maka dapat dilakukan tindakan ‘merumahkan’ pekerja terlebih dahulu.
Meskipun istilah ‘merumahkan’ pekerja tidak terdapat dalam perundang-undangan ketenagakerjaan di Indonesia, namun untuk pertama kalinya istilah tersebut disebutkan dalam Surat Menaker pada tahun 1998 terkait dengan krisis moneter yang terjadi di tahun 1998 yaitu Surat Edaran Menaker Nomor: SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja Yang Dirumahkan Bukan Ke Arah Pemutusan Hubungan Kerja (SE-05).
SE-05 tersebut ditujukan oleh Menaker kepada Kepala Kanwil Departemen Tenaga Kerja Seindonesia, yang memberikan pedoman mengingat belum adanya ketentuan yang mengatur mengenai tindakan ‘merumahkan’ pekerja.
Dalam SE-05 tersebut diberikan arahan sebagai berikut:
- Pengusaha tetap membayar upah secara penuh yaitu berupa upah pokok dan tunjangan tetap selama pekerja dirumahkan, kecuali telah diatur lain dalam Perjanjian Kerja, peraturan perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama;
- Apabila pengusaha akan membayar upah pekerja tidak secara penuh agar dirundingkan dengan pihak serikat pekerja dan atau para pekerja mengenai besarnya upah selama dirumahkan dan lamanya dirumahkan;
- Apabila perundingan melalui jasa pegawai perantara ternyata tidak tercapai kesepakatan agar segera dikeluarkan surat anjuran dan apabila anjuran tersebut ditolak oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berselisih maka masalahnya agar segera dilimpahkan ke P4 Daerah, atau ke P4 Pusat untuk PHK Massal.
Ketentuan mengenai kebijakan ‘merumahkan’ pekerja selanjutnya tertuang pula dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor: SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tanggal 28 Oktober 2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal (SE-907). Esensi dari SE-907 yang merupakan himbauan dari Menteri Tenaga Kerja pada saat itu agar dalam hal suatu perusahaan mengalami kesulitan maka PHK haruslah merupakan upaya terakhir, yang salah satunya caranya adalah dengan jalan meliburkan atau ‘merumahkan’ pekerjanya secara bergilir untuk sementara waktu yang mana tentunya harus dibahas dengan serikat pekerja atau dengan wakil pekerja terlebih dahulu untuk dapat dilakukan pembicaraan secara bipartit guna mencegah terjadinya PHK.
Untuk pekerja yang mempunyai Perjanjian PKWT dengan Perusahaan Pemberi Kerja, maka dalam hal terdapat pemutusan hubungan kerja atas inisiatif dari Perusahaan Pemberi Pekerjaan maka berdasarkan ketentuan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan maka Perusahaan Pemberi Pekerjaan harus membayar ganti rugi kepada pekerja sebesar upah pekerja hingga masa berakhirnya Perjanjian Kerja.
Kondisi mana berbeda dengan yang dialami oleh BUJP sebagai PPJT, di mana terdapat 2 buah perjanjian: a) Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja Satpam yang dibuat antara Perusahaan Pemberi Pekerjaan dengan PPJT dan b) Perjanjian Kerja yang dibuat antara PPJT dengan Satpam.
Umumnya Perjanjian Kerja yang dibuat tersebut adalah PKWT mengingat PPJT adalah perusahaan outsourcing yang karakter bisnisnya bergantung pada ada tidaknya permintaan dan kebutuhan dari Perusahaan Pemberi Pekerjaan. Umumnya BUJP Penyediaan Tenaga Pengamanan akan membuat PKWT dengan pekerja (dalam hal ini Satpam) setelah adanya permintaan dan kebutuhan dari Perusahaan Pemberi Pekerjaan sehingga jangka waktu PKWT tersebut juga setidaknya akan disesuaikan dengan jangka waktu perjanjian antara BUJP Penyediaan Tenaga Pengamanan dengan Perusahaan Pemberi Pekerjaan.
Permasalahan akan timbul pada saat perubahan kondisi atau kebutuhan Perusahaan Pemberi Pekerjaan seringkali berujung pada pemutusan Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja Satpam yang dilakukan oleh Perusahaan Pemberi Pekerjaan. Hal tersebut membuat posisi pihak PPJT menjadi sulit mengingat Satpam yang telah ditempatkan pada lokasi yang ditugaskan oleh Perusahaan Pemberi Pekerjaan tersebut telah diikat oleh PKWT sesuai dengan jangka waktu Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja tersebut.
Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja Satpam tersebut berdasarkan Pasal 20 Permenaker No. 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Permenaker 11/2019), haruslah didaftarkan pada instansi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota tempat pekerjaan akan dilakukan dengan melampirkan formulir pendaftaran dan Ijin Usaha Penyediaan Tenaga Kerja BUJP tersebut.
Adapun ketentuan minimal yang mutlak harus tercantum dalam Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja Satpam tersebut berdasarkan Pasal 19 Permenaker 11/2019 tersebut adalah sebagai berikut: a) jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh Pekerja dari PPJT, b) penegasan bahwa PPJT akan menerima pekerja dari PPJT sebelumnya dalam hal terjadi penggantian PPJT, c) hubungan kerja antara PPJT dengan Pekerja berdasarkan PKWT atau PKWTT, d) kewajiban untuk memenuhi kewajiban hak Pekerja sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Selain itu juga terdapat kewajiban bagi PPJT untuk membuat perjanjian kerja secara tertulis dengan pekerjanya baik itu berupa PKWT atau PKWTT dan mendaftarkannya pada instansi ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota tempat pekerjaan akan dilakukan (Vide Pasal 27 Permenaker 11/2019).
Sepengetahuan Penulis dari informasi yang Penulis terima dari praktisi di bidang industri jasa pengamanan bahwa pembayaran jasa yang dibayarkan oleh Perusahaan Pemberi Pekerjaan dalam praktik umumnya baru dibayarkan setiap 2 atau 3 bulan sekali dalam kondisi normal atau dengan kata lain BUJP Penyediaan Tenaga Pengamanan selaku PPJT harus mempunyai kecukupan modal untuk dapat menjalankan usahanya tersebut.
Ketika dilakukan pemutusan Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja Satpam secara sepihak oleh Perusahaan Pemberi Pekerjaan maka hal tersebut menimbulkan masalah terhadap cash flow dari BUJP Penyediaan Tenaga Pengamanan selaku PPJT mengingat PPJT tersebut tidak dapat membayar kewajibannya kepada Satpam yang telah diikat Perjanjian Kerja.
Satpam tersebut tidak dapat menagih langsung kepada Pihak Perusahaan Pemberi Pekerjaan mengingat hubungan hukum yang ada adalah antara Satpam tersebut dengan PPJT yang memperkerjakannya dan bukan dengan Perusahaan Pemberi Pekerjaan. Hal mana menimbulkan posisi yang dilematis bagi BUJP selaku PPJT.
Bagi BUJP yang ‘besar’ dan memiliki kecukupan modal maka BUJP tersebut tetap dapat menjalankan kewajibannya kepada Satpamnya ataupun minimal dapat memberikan ‘suatu kompensasi’ sebagai akibat pemutusan Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja Satpam tersebut. Namun bagi BUJP ‘kecil’ atau ‘menengah’ hal ini menimbulkan masalah tersendiri mengingat tanggung jawab mereka untuk melakukan kewajiban pembayarannya akibat pemutusan perjanjian secara sepihak oleh Perusahaan Pemberi Pekerjaan.
Seyogyanya PPJT tersebut harus tetap membayarkan kewajibannya kepada para Satpamnya dan selanjutnya melakukan upaya penagihan kepada Perusahaan Pemberi Pekerjaan. Terkait dengan pemutusan Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja Satpam secara sepihak tersebut, maka ada baiknya Pihak PPJT yang diputus perjanjiannya secara sepihak tersebut mempelajari perjanjiannya kembali dan dapat menempuh upaya negosiasi terlebih dahulu dan jika upaya tersebut gagal maka dapat ditempuh upaya hukum gugatan sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Perjanjian tersebut.
Namun demikian yang menjadi kendala sering kali Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja Satpam tersebut tidak dibuat secara detail dan ketentuannya tidak berimbang sehingga sering kali merugikan bagi pihak PPJT. Apalagi dalam Permenaker 11/2019 tersebut persyaratan minimal yang harus dicantumkan dalam Perjanjian Penyediaan Tenaga Kerja cenderung hanya meminta penegasan atas kewajiban dari PPJT dan tidak terdapat beban atau kewajiban dari Perusahaan Pemberi Pekerjaan yang harus dicantumkan dalam Perjanjian sebagai syarat minimal.
Seyogyanya Pasal 19 Permenaker 11/2019 mencantumkan juga kewajiban agar Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja Satpam mengatur kewajiban Perusahaan Pemberi Pekerjaan untuk memenuhi kewajibannya selama jangka waktu Perjanjian dan dalam hal dilakukan pemutusan Perjanjian secara sepihak maka Perusahaan Pemberi Pekerjaan wajib untuk memenuhi kewajiban pembayaran hingga masa PPJT berakhir.
Peran Satpam sangat vital karena secara tidak langsung telah membantu kepolisian dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat di masing-masing lingkungan kerjanya. Peran serta Satpam dalam membantu tugas kepolisian menjadi cukup signifikan mengingat rasio polisi di Indonesia masih belum ideal, di mana rasionya masih 1:700.
Sebagai ‘anak kandung’ Kepolisian, maka sudah sepatutnya dalam kondisi saat ini pihak Kepolisian Republik Indonesia turut serta memikirkan dan mencari solusi atas permasalahan pemutusan hubungan kerja yang terjadi pada industri jasa keamanan. Demikian pula Kementerian Tenaga Kerja harus turut berperan aktif mencari solusi dan memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan yang dihadapi oleh PPJT, yang melakukan kegiatan sebagai BUJP Penyediaan Tenaga Pengamanan, sebagai akibat pemutusan Perjanjian oleh Perusahaan Pemberi Pekerjaan mengingat peran strategis dari Satpam sebagai pembantu Kepolisian dalam mengemban fungsi Kepolisian. []
Sumber: Hukum Online