JURNAL SECURITY | Pasuruan–Jumali, nama yang tidak asing bagi warga sekitar Desa Dayurejo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. Terutama di Gutean, kampung halamannya. Oleh warga setempat, dia dikenal sebagai pegiat sekaligus dan pengolah kopi.
Cuaca cerah pagi itu dimanfaatkan betul oleh Jumali (37), untuk menjemur kopi yang sudah dipanen untuk kemudian diproduksi lebih lanjut. Kopi itu dijemur di green house sederhana yang dia bangun di halaman depan rumahnya. Sebab, beberapa hari terakhir hujan turun dengan deras. Biasanya, siang atau sore hari.
Jumali sendiri dikenal sebagai satpam di salah satu perusahaan di Kecamatan Prigen. Namun, di luar itu, warga Dayurejo mengenalnya sebagai pegiat, petani, dan pengolah kopi. Dua sisi yang berbeda itu dilakoninya beriringan.
“Kalau di luar, pekerjaan saya satpam. Ketika di rumah, fokus sebagai pegiat, petani kopi, sekaligus pengolah kopi,” ucapnya seperti diberitakan radarbromo.jawapos.com.
Bagi Jumali sendiri, kopi bukanlah hal baru. Sebab, kedua orang tuanya adalah petani kopi. Sejak kecil, Jumali pun sering diajak orang tuanya ke ladang untuk bertanam dan merawat kopi.
Tidak hanya orang tuanya. Mayoritas warga di kampungnya juga petani kopi. Sebab, Desa Dayurejo memang merupakan salah satu desa penghasil kopi di Prigen dan Kabupaten Pasuruan.
Sejak 2020, Jumali pun memutuskan fokus bertani kopi. Selain tetap menjadi satpam. Tiap kali panen, dia biasanya menjual kopi ke pasar dalam bentuk mentah atau biji kopi.
Namun, harga jual kopi mentah makin murah dari tahun ke tahun. Karena itu, Jumali terlecut untuk mendapat nilai ekonomi lebih dari kopi.
Untuk mewujudkan keinginannya itu, sejak 2018, dia lantas mengolah sendiri kopi hasil panen dari kebunnya.
Setelah dijemur, kopi diolah dalam bentuk matang atau siap seduh. Meski demikian, dia masih menjual kopi dalam bentuk mentah. Walaupun, tidak sebanyak sebelumnya.
Dari sana, Jumali mendapat penghasilan hampir dua kali lipat. Kopi robusta matang misalnya, dijual Rp 80 ribu – Rp 95 ribu per kilogram. Sementara yang mentah hanya Rp 50 ribu – Rp 55 ribu per kilogram.
Sedangkan harga jual kopi arabika matang lebih mahal. Yaitu, Rp 200 ribu–Rp 220 ribu per kilogram. Sementara yang mentah Rp 115 ribu–Rp 135 ribu per kilogram.
Jumali pun mendapat omzet lumayan. Sekitar Rp 20 juta–Rp 25 juta tiap bulannya. Bahkan, kopi produksinya sudah dipasarkan ke berbagai daerah. Di antaranya, sekitaran Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan, hingga Papua.
Bahkan, dia punya pelanggan dari Korea Selatan. Yaitu, ekspatriat yang pernah bekerja di Indonesia dan tinggal di Prigen. Dia ini rutin membeli kopi darinya untuk dikirim ke Korea Selatan.
Namun, keberhasilan itu tidak membuat dia lupa diri. Dari sana, Jumali justru berpikir bahwa petani lain bisa melakukan hal serupa. Maka, sejak saat itu pula, dia aktif mengedukasi petani agar lebih berdaya.
“Sembil memproduksi kopi sendiri di rumah, saya mengedukasi para petani di desa supaya bisa menghasilkan kopi berkualitas. Juga mendapat nilai lebih dari menjual kopi,” tuturnya penuh semangat.
Jumali yakin, kopi asal Desa Dayurejo memiliki keunggulan dan citarasa yang khas. Baik itu jenis arabika, maupun robusta.
Hampir di setiap waktu dan kesempatan, Jumali terus mengedukasi petani kopi di desanya. Bahkan, dia rutin keliling dan bertemu pada petani kopi di kebun mereka.
Di sana, dia banyak sharing tentang cara merawat kopi yang benar hingga masa panen. Termasuk mengolah kopi pascapanen.
“Artinya, kalau kopi punya saya bagus, maka kopi punya petani lain di desa ini harusnya juga bagus. Itulah yang harus saya wujudkan sebagai seorang penggiat. Bagi-bagi ilmu dan pengalaman, Alhamdulillah tidak pernah bosan,” tuturnya.
Menurutnya, citarasa kopi dipengaruhi tiga faktor. Yaitu, petani, proses roasting, dan barista.
“Faktor petani itu 60 persen, lainnya roasting dan barista masing-masing 20 persen. Karena itulah, mengedukasi petani kopi itu penting,” ungkap alumni SMK Dewantoro Purwosari ini.
Jumali sendiri fokus mengolah kopi robusta dan arabika. Kopi produksinya itu dia beri merek Kopi Sukmojati. Menurutnya, kopinya ini mengutamakan panen kopi petik merah.
Selain itu, dia juga memperhatikan sejumlah tahapan pascapanen. Mulai dari penjemuran alami, penggilingan melepas kulit kopi, sortasi atau memilih biji kopi yang pecah.
Kemudian, resting atau menginstirahatkan biji kopi selama 30 hari, kemudian roasting atau digoreng. Dan, tahap akhir selep atau giling, lanjut dikemas menjadi produk kopi dalam kemasan menarik.
“Petik merah dan proses pascapanen ini penting sekali dan harus diperhatikan dalam pengolahan kopi. Karena berpengaruh pada citarasa kopi yang dihasilkan,” ucapnya. [fr]
Sumber: jawapos.com