JURNALSECURITY.COM | Meski usia satuan pengamanan (Satpam) di Indonesia telah mencapai 45 tahun, sayangnya masih ada oknum satpam yang belum menunjukkan kesadaran profesional dalam menjalankan tugasnya. Beberapa sikap yang dianggap sepele justru berpotensi merusak citra Satpam secara keseluruhan.
Contoh yang sering terjadi adalah kebiasaan menerima uang tips dari pelanggan atau tamu yang keluar-masuk lingkungan kerja.
Kebiasaan ini mungkin dianggap wajar oleh sebagian pihak, namun sebenarnya bertentangan dengan etika dan integritas profesi Satpam sebagai garda terdepan dalam menjaga keamanan dan ketertiban.
Selain itu, masih ditemukan oknum yang kurang memperhatikan penampilan, seperti mengenakan seragam yang kusam, menggunakan topi yang dicantelkan di tongkat, atau sikap kerja yang tampak asal-asalan. Hal-hal kecil seperti ini memberi kesan kurang disiplin dan tidak profesional.
Sudah saatnya Satpam di Indonesia berbenah. Tugas mereka tidak hanya menjaga keamanan secara fisik, tetapi juga menjaga wibawa dan kepercayaan publik terhadap profesi ini.
Kesadaran, etika, dan kedisiplinan adalah fondasi penting bagi setiap anggota Satpam agar mampu menjalankan tugas dengan profesionalisme tinggi dan membanggakan.
Sebenarnya, bukan berarti Satpam tidak memiliki kesadaran profesional dalam bekerja. Namun, jika dilihat dari sisi kesejahteraan, khususnya penghasilan yang diterima, sering kali tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kondisi inilah yang mendorong sebagian Satpam menggantungkan harapan pada uang tips sebagai tambahan penghasilan dalam menjalankan tugasnya.
Saya sudah beberapa kali menulis tentang fenomena uang tips di kalangan Satpam. Sekilas, praktik ini tampak wajar dan bahkan dianggap tidak bermasalah oleh banyak pihak. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, dampaknya justru cukup memprihatinkan.
Uang tips yang semula bersifat sukarela dan insidental, dalam praktiknya bisa menggeser orientasi kerja. Pelayanan menjadi tidak merata, muncul perilaku pilih kasih, dan fokus utama dalam bekerja bergeser, bukan lagi pada keamanan atau pelayanan yang optimal, melainkan pada bagaimana mendapatkan tips sebanyak mungkin.
Tak jarang, Satpam lebih memperhatikan area parkir, pintu keluar, atau kendaraan tertentu, hanya demi imbalan uang.
Hal ini tentu merusak citra profesi Satpam itu sendiri. Padahal, tugas Satpam bukan sekadar menjaga gerbang atau mengatur lalu lintas, melainkan menciptakan rasa aman, tertib, dan menjadi representasi dari lembaga atau tempat mereka bertugas.
Oleh karena itu, perlu ada upaya serius dari berbagai pihak termasuk lembaga penyedia jasa keamanan dan instansi terkait untuk meningkatkan kesejahteraan Satpam. Jika kebutuhan dasar mereka terpenuhi, maka integritas, etika, dan profesionalisme pun akan tumbuh dengan lebih kokoh.
Jika ditelusuri lebih dalam, terdapat berbagai perilaku lain yang justru semakin mengurangi nilai dan citra profesi Satpam.
Beberapa di antaranya adalah meninggalkan pos jaga tanpa izin, tidur saat jam tugas, mengenakan seragam dengan tidak rapi (misalnya dikeluarkan), menggunakan sandal jepit saat bertugas, dan pelanggaran etika kerja lainnya.
Yang lebih fatal, ada pula oknum yang terlibat dalam tindakan melanggar hukum, seperti pencurian di lingkungan kerja, dengan alasan kelelahan, tekanan ekonomi, atau lemahnya pengawasan.
Perilaku-perilaku semacam ini tentu sangat merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi keamanan internal, sekaligus mencoreng nama baik profesi Satpam secara umum.
Masalah ini tidak bisa hanya dibebankan kepada individu Satpam saja. Perlu ada peran aktif dari manajemen atau pihak yang mempekerjakan untuk melakukan pembinaan secara konsisten dan berkelanjutan.
Pembinaan tidak hanya sebatas pada pelatihan teknis, tetapi juga mencakup etika profesi, kedisiplinan, dan penguatan mental serta integritas.
Dengan keterlibatan manajemen yang serius dan sistem evaluasi yang berjalan rutin, diharapkan kualitas kerja Satpam dapat meningkat. Satpam bukan hanya sekadar penjaga, tetapi representasi dari keamanan, profesionalisme, dan kepercayaan di lingkungan kerja.
Dengan demikian, yang perlu benar-benar diwaspadai dari berbagai tindakan di atas adalah potensi pelanggaran, penyimpangan, dan kelalaian yang dapat berdampak serius, baik terhadap keamanan lingkungan kerja maupun citra profesi Satpam secara keseluruhan.
Penanganan terhadap persoalan ini tidak bisa hanya bersifat reaktif atau insidental. Diperlukan pendekatan yang menyeluruh melalui pembinaan yang konsisten, evaluasi berkala, dan peningkatan kesejahteraan yang memadai. Hanya dengan cara inilah profesi Satpam dapat berdiri tegak sebagai simbol integritas, kedisiplinan, dan kepercayaan publik.
Sudah saatnya semua pihak baik individu Satpam, manajemen, maupun instansi terkait berkomitmen membangun kembali marwah profesi ini. Karena sejatinya, keamanan bukan hanya soal menjaga tempat, tapi menjaga nilai dan tanggung jawab di balik seragam yang dikenakan.[]