JURNAL SECURITY | Apa yang Anda pikirkan dengan Security atau satpam penyandang Disabilitas? Tentu bertolak belakang dengan requirement terhadap kesempurnaan Security pada saat dalam melakukan rekrutmen dan seleksi sebelum menjadi Security.
Fisik Security masih sangat dominan sebagai “first impression” baik baru melamar pekerjaan Security maupun ketika sudah bekerja yang diperhatikan semua stakeholder di lingkungan kerja, yang penting postur terlihat gagah dan berwibawa “Skill dan Knowledge” menjadi nomor 2, meskipun itu sama pentingnya?
Dari persyaratan calon pelamar Security, sudah ditentukan A sampai Z diantaranya tinggi dan berat badan secara proporsional, kesehatan 100 % baik, tidak cacat, tidak bertato, tidak berkaca mata, semuanya normal. Dari sini, bisa dianalisa bahwa Security belum di rekomendasikan sebagai penyandang disabilitas.
Nilai-nilai positif yang tidak tercipta adalah rasa keadilan dan kesempatan bagi penyandang disabilitas bekerja menjadi Security. Oeh sebab itu, sebenarnya penyandang disablitas masih bisa dipekerjakan sebagai karyawan sesuai dengan Undang-undang yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Meskipun kontroversi, antara Undang-undang dengan fenomena di lapangan pekerjaan Security, setidaknya perlu di kaji ulang terhadap bagiamana kesempatan memanusiakan semua sumber daya manusia yang ingin bekerja terutama di bidang pengamanan.
Tinjauan dari Undang-undang:
Undang-Undang yang mengatur tentang penyandang disabilitas adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016. Yang bertujuan untuk menjunjung tinggi martabat dan mengupayakan hak yang setara bagi penyandang disabilitas.
Selain itu juga, ada Undang-Undang lain yang berkaitan dengan penyandang disabilitas diantaranya sebagai berikut:
“Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.”
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menyebutkan bahwa ada empat ragam penyandang disabilitas, yaitu:
1. Penyandang disabilitas fisik,
2. Penyandang disabilitas intelektual,
3. Penyandang disabilitas sensorik,
4. Penyandang disabilitas mental.
Dari uraian Undang-undang diatas menitikberatkan bahwa kesempatan dan keadilan untuk bekerja itu sama, hanya itu semua tergantung dengan user melalui MOU atau perjanjian kerja sama sesuai dengan kebutuhan dan tanggung jawab sosial di lingkungan kerja.
Lebih diperjelaskan kembali karena “menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas” yang mewajibkan memperkerjakan penyandang Disabilitas dengan kapasitas berdasarkan perusahaan swasta dan pemerintah wajib mempekerjakan paling sedikit 1-2 % sebagai penyandang Disabilitas.
Lebih didetailkan kembali bahwa “Perusahaan Swasta wajib mempekerjakan 1 % sedangkan pemerintahan wajib memperkerjakan 2 % dari jumlah karyawan atau pegawai yang bekerja di setiap perusahaan Swasta dan pemerintahan tersebut”.
Bertinya jika setiap pemangku kepentingan bisa menerapkan sesuai dengan Undang-undang diatas, saya rasa meskipun dengan keterbatasan “dari setiap disablitas Security” baik itu dari tuna daksa, tuna rungu, tuna wicara, maupun disabilitas lainnya. Namun demikian, harus menyesuaikan dalam ruang lingkup tugas dan pekerjaannya.
Kemungkinan besar, menjadi gejolak yang lebih mementingkan kesempurnaan dibandingkan berpihak dengan disabilitas, karena mempunyai alasan yang mementing dari tingkat pelayanan keamanan terbatas di tempat kerjanya masing-masing, oleh sebab itu Undang-undang harus di implementasikan sebaikan mungkin untuk menyeluruh terhadap semua level penyandang disabilitas.
Tantangan yang Dihadapi:
1. Secara Internal:
Memberikan edukasi terkait kesadaran dan pengetahuan tentang disabilitas kepada semua karyawan internal, karena ini menjadi keberlanjutan dalam keberlangsungan perusahaan jangka panjang dan memanfaatkan penyandang disabilitas bagi pengamanan.
Kemudian, men-design kebijakan dan prosedur terhadap semua peraturan yang berhubungan dengan strategi bisnis khususnya untuk security sebagai penyandang disabilitas? Ini menjadi poin penting dalam mentaati Undang-undang yang sudah diuraikan diatas.
Selain itu, mempersiapkan proses “recruitment and training” dengan ketidaknormalan atau jauh dari kesempurnaan pihak manajemen perusahaan, memastikan prosedur dan alat yang mendukung serta metode yang mencakupi pemahaman secara detail dan mendalam terutama seleksi dan pelatihan karyawan disabilitas “Security”?
Konsep lain yang perlu dianalisa bagaimana operasional bisa berjalan sesuai dengan tujuan perusahaan seperti dari komunikasi, pengawasan, cara bekerja, dan kegiatan teknis lain. Selanjutnya sistem ketenagakerjaan baik mulai dari proses di awal masuk kerja sampai dengan karyawan tersebut “Resign”.
Kata kuncinya, pihak manajemen perusahaan internal bisa memitigasi kegiatan yang lebih extreme dalam memperdayakan dan memanusiakan “karyawan disabilitas” khususnya untuk petugas keamanan yakni “Security”. Measkipun sudah di jelaskan dalam Undang-undang, tentu akan berbeda dalam praktiknya membutuhkan pihak Eksternal sebagai implikasi Undang-undang disabilitas ini.
2. Secara Exsternal:
Di era sekarang yang menjadi penentu dari sebuah regulasi atau kebijakan adalah user atau pengguna jasa Security di lingkungan kerjanya masing-masing. Penekanan disini semua pihak yang terlibat di dalamnya harus mengkaji ulang agar secara kesadaran memahami tidak hanya regulasi namum bisa juga dampak sosial yang mempengaruhi kehidupan luas.
Karena yang namanya User pasti sangat mempertimbangkan dalam memperkerjakan “Security penyandang Disabilitas” dengan berbagai macam alasan, diantaranya pelayanan keamanan yang berhubungan dengan customernya nya customer artinya pihak ketiga yang merasakan pelayanan yang diberikan oleh Security tersebut.
Intervensi dari pihak lain, harus memberikan peran dan berfungsi “jangan hanya terima bersih” atau mau untungnya saja dari setiap bisnis Security lainnya. Siapa saja yang berkecimpungan harus memperjuangkan nasib “Security Penyandang Disabilitas”. Dengan situasi dan kebutuhan serta kepentingan lainnya.
Kalau dianalisa, sebetulnya “Security Penyandang Disabilitas” di akomodir seperti sebagai operator CCTV, petugas checklist kendaraan, patroli area tertentu dengan catatan didampingi oleh petugas Security lainnya, serta diberikan perhatian khusus dengan peralatan dan perlengkapan kerja yang mendukung?
Salam dari ketidaksempurnaan, semoga pihak terlibat sudah memikirkan ini “Security Penyandang Disabilitas”, semoga bermanfaat untuk seluruh satpam atau Security di Indonesia?[]