Namun di tengah berkembangnya tren “personal branding” dan kemudahan mengakses informasi, muncul pula fenomena klaim sepihak menjadi praktisi security tanpa validasi kompetensi yang jelas.
Banyak yang memanfaatkan popularitas istilah ini sebagai identitas diri tanpa bekal kemampuan nyata atau pengalaman lapangan. Ini menjadi alarm penting akan perlunya sertifikasi, etika profesional, dan pengakuan yang sah dalam dunia keamanan.
Oleh karena itu, menjadi praktisi security sejati bukan soal mengaku, melainkan tentang membuktikan—dengan kerja nyata, dengan keahlian teruji, dan dengan kontribusi yang berdampak bagi keamanan bersama.
Fenomena “Mudahnya Mengaku Praktisi Security”: Antara Jabatan, Peran Baru, dan Pemahaman Mendalam?
Dalam beberapa waktu terakhir, muncul fenomena menarik di berbagai lingkungan kerja, seseorang yang baru satu atau dua bulan mengenal bidang security, atau yang baru saja dipindah-tugaskan ke posisi yang berkaitan dengan keamanan, tiba-tiba dengan cepat mengklaim diri sebagai praktisi security.
Perpindahan tugas ini biasanya terjadi karena penambahan tanggung jawab dalam jabatan atau struktur organisasi, dan bukan karena latar belakang atau keahlian sebelumnya di bidang tersebut.
Tentu tidak ada yang secara eksplisit salah dalam mengaku sebagai praktisi security. Setiap orang berhak belajar dan berkembang di bidang baru. Namun, yang menjadi catatan penting di sini adalah: apakah klaim tersebut dibarengi dengan pemahaman yang cukup mengenai ruang lingkup, prinsip, dan praktik keamanan itu sendiri?
Dalam banyak kasus, seseorang bisa saja tiba-tiba menjadi “owner” dari tanggung jawab security—artinya menjadi pengampu utama atau penanggung jawab fungsi keamanan di suatu unit atau organisasi—tanpa terlebih dahulu memahami proses, tantangan, dan kerangka kerja yang menyeluruh dalam dunia security.
Ini menimbulkan pertanyaan: apakah benar menjadi seorang praktisi hanya karena menjabat, ataukah karena memiliki kompetensi dan pemahaman yang memadai?
Security bukanlah bidang yang bisa dipahami secara instan. Ia mencakup banyak dimensi—fisik, digital, sosial, hingga strategi manajemen risiko—yang semuanya membutuhkan pelatihan, pengalaman, dan pendekatan sistematis.
Menyederhanakan peran ini hanya sebagai “tambahan tugas” tanpa dasar pengetahuan yang kuat, berisiko mengurangi kualitas perlindungan yang diberikan kepada aset, sistem, dan bahkan nyawa manusia.
Analisis ini bukan untuk menyudutkan siapa pun. Sebaliknya, ini adalah refleksi dari kondisi di lapangan yang menunjukkan bahwa perlu ada penegasan ulang mengenai pentingnya kapabilitas dalam profesi security. Mengklaim diri sebagai praktisi security sah-sah saja, namun akan lebih bernilai dan bermanfaat jika disertai dengan: