Jurnalsecurity.com | Tantangan Efisiensi dalam Sistem Keamanan: Antara Kebutuhan Nyata dan Keterbatasan Anggaran. Dalam perkembangan dunia keamanan yang semakin kompetitif, para pelaku bisnis di bidang security dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif. Hal ini terutama berlaku dalam menghadapi dinamika segmen pasar dan kebutuhan para stakeholder yang semakin beragam.
Tantangan muncul ketika kebutuhan operasional tidak sejalan dengan keterbatasan anggaran yang tersedia, sehingga diperlukan strategi yang cermat dan pendekatan mitigatif yang tepat.
Sebagai ilustrasi, bayangkan sebuah gedung perkantoran yang memiliki 26 lantai, berdiri di atas lahan seluas 5 hektar (termasuk area halaman), dengan 3 lantai basement, serta memiliki 4 akses pintu masuk.
Berdasarkan analisis kebutuhan ideal, jumlah petugas keamanan (manpower) yang seharusnya disediakan adalah sebanyak 78 personel. Jumlah ini mempertimbangkan aspek luas area, jumlah titik akses, kebutuhan patroli di berbagai titik rawan, serta perlunya sistem shift kerja untuk menjaga keamanan selama 24 jam penuh.
Namun, dalam praktiknya, karena keterbatasan anggaran dari pengelola gedung, jumlah petugas keamanan dikurangi menjadi hanya 50 orang.
Pengurangan ini tentu berdampak pada efektivitas pengawasan, kecepatan respons, dan beban kerja personel di lapangan. Pertanyaannya: apakah keputusan ini dapat diterima secara logis dari sisi keamanan, atau justru berpotensi membuka celah risiko?
Pola pikir stakeholder yang cenderung menekan jumlah petugas demi efisiensi anggaran dapat dimaklumi dari sudut pandang manajemen keuangan.
Namun dalam konteks manajemen risiko keamanan, pendekatan ini mengandung potensi bahaya laten. Keamanan bukan hanya tentang keberadaan personel, melainkan juga mencakup persepsi rasa aman, kecepatan penanganan insiden, dan ketahanan sistem dalam kondisi darurat.
Rekomendasi dan Mitigasi
Untuk menjembatani antara keterbatasan biaya dan kebutuhan operasional, beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan antara lain:
Optimalisasi Teknologi Keamanan:
Mengintegrasikan sistem CCTV berbasis AI, access control otomatis, sensor gerak, serta panic button di titik-titik strategis untuk mendukung efisiensi pengawasan. Terkadang ini bukan solusi karena tenaga Security menjadi sangat dominan untuk fokus melakukan tindakan terhadap problem yang terjadi di lingkungan kerja.
Sistem Rotasi dan Zona Prioritas:
Menerapkan konsep patroli dinamis dengan zona prioritas, di mana area yang lebih rawan mendapat intensitas penjagaan lebih tinggi. Hal ini bisa di implementasikan, namun perlu penegasan terhadap level pengawas dan sumber daya Security agar tetap konsisten dalam menjalankan sistem rotasi di tempat kerja.
Analisis Risiko Periodik:
Melakukan audit keamanan dan risk assessment secara berkala untuk menentukan area mana saja yang bisa disesuaikan tanpa mengurangi integritas sistem pengamanan. Tentunya ini sangat penting dalam menilai dan mengidentifikasi aspek risiko yang sangat dinamis.
Pelatihan Multi-Skill Personel:
Petugas keamanan yang dibekali kemampuan tambahan seperti penggunaan alat pemadam api ringan (APAR), pertolongan pertama, atau komunikasi darurat akan meningkatkan efektivitas meski jumlah personel terbatas. Terkait multi-skill perlu pemberian pelatihan secara berkala, sehingga lebih cepat dalam memberikan respon atau menghadapi berbagai masalah yang akan terjadi.
Komunikasi Strategis dengan Stakeholder:
Menyampaikan data dan simulasi risiko secara komprehensif kepada pengelola gedung agar mereka memahami konsekuensi dari pengurangan personel secara objektif. Peran level managerial menjadi konsep utama dalam mendesign terhadap skenario dengan langkah-langlah dan perencanaan jangka panjang terhadapa sistem kerja dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab-nya.
Keamanan adalah investasi, bukan beban biaya semata. Dalam menghadapi keterbatasan sumber daya, pengelolaan sistem keamanan harus berbasis pada pemetaan risiko dan inovasi solusi.
Menekan jumlah personel secara drastis tanpa kompensasi sistemik akan memperbesar risiko insiden dan merugikan reputasi pengelola dalam jangka panjang. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan kolaboratif antara penyedia jasa keamanan dan stakeholder agar tercipta keseimbangan antara efisiensi biaya dan efektivitas perlindungan.
Berikut adalah versi yang telah diperbaiki, diperjelas, dan ditambahkan narasi kritis serta struktural agar lebih komunikatif dan profesional:
Fenomena Instan dalam Industri Keamanan: Tantangan Etika dan Profesionalisme:
Di tengah dinamika dunia kerja yang serba cepat dan instan, tidak sedikit proyek pengamanan yang dijalankan tanpa mempertimbangkan secara menyeluruh kebutuhan dasar dalam sistem keamanan.
Dalam berbagai kasus, orientasi utama lebih kepada menang tender, menjalin kerja sama strategis, atau sekadar memenuhi syarat administratif, sementara aspek fundamental seperti kualitas personel keamanan, kepatuhan terhadap regulasi, dan kesejahteraan petugas justru sering diabaikan.
Fenomena ini membuka ruang bagi praktik-praktik pragmatis yang cenderung mengesampingkan integritas profesional dan standar operasional. Seluruh proses, mulai dari pengurusan dokumen, sertifikasi, regulasi, aspek teknis hingga sistem keamanan, dapat “disesuaikan” agar tampak rapi secara administratif.
Konsep dan strategi pengamanan seringkali hanya disusun untuk memenuhi persyaratan presentasi tender, bukan untuk diterapkan secara nyata di lapangan. Bahkan sistem pengawasan dan pembinaan yang seharusnya dilaksanakan secara berkala, hanya menjadi formalitas belaka.
Lebih memprihatinkan lagi, banyak pihak pengguna jasa keamanan yang hanya berfokus pada tercapainya kerja sama atau turunnya harga penawaran, tanpa mempertanyakan apakah tenaga satuan pengamanan (Satpam) yang dipekerjakan:
Sudah menerima gaji sesuai UMP/UMK yang berlaku?
Sudah memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) Satpam sesuai ketentuan Polri?
Telah menjalani pelatihan dasar keamanan (Gada Pratama) atau pelatihan lanjutan?
Memiliki perlindungan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan?
Padahal, sistem keamanan yang baik tidak hanya ditentukan oleh peralatan dan prosedur, tetapi juga oleh kompetensi, integritas, dan kesejahteraan personel di dalamnya.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk membenahi kondisi ini, beberapa langkah strategis perlu dikedepankan:
Peningkatan Kesadaran Stakeholder:
Edukasi kepada pemilik proyek dan pengguna jasa security bahwa keamanan adalah investasi jangka panjang, bukan sekadar biaya pengeluaran.
Kepatuhan terhadap Regulasi:
Mendorong perusahaan penyedia jasa keamanan untuk patuh terhadap peraturan perundangan yang berlaku, terutama terkait ketenagakerjaan, pelatihan, dan legalitas operasional Satpam.
Sertifikasi yang Transparan dan Akuntabel:
Memastikan bahwa seluruh dokumen dan sertifikat yang diajukan dalam proses tender benar-benar mencerminkan kondisi aktual di lapangan.
Audit dan Evaluasi Berkala:
Pelaksanaan audit terhadap sistem keamanan dan pelatihan bagi petugas secara berkala untuk menjaga kualitas layanan dan mencegah praktik manipulatif.
Sanksi Tegas terhadap Pelanggaran:
Memberikan sanksi administratif atau hukum kepada perusahaan yang melanggar prinsip pengadaan jasa keamanan, termasuk tidak membayar upah layak atau mempekerjakan personel ilegal.
Fenomena instan dalam pengelolaan jasa keamanan harus dilihat sebagai peringatan bahwa sistem keamanan tidak bisa dibangun hanya atas dasar administrasi dan harga murah.
Tanpa komitmen terhadap etika, profesionalisme, dan kesejahteraan tenaga pengamanan, maka keamanan yang dibangun hanya akan bersifat semu dan rapuh. Oleh karena itu, sudah saatnya industri keamanan didorong untuk tumbuh secara berkelanjutan, berkualitas, dan bertanggung jawab terhadap semua pihak yang terlibat.[]